Tidak dapat dimungkiri bahwa minat baca mampu mencerdaskan sebuah bangsa. Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan karena membaca merupakan aktivitas yang kaya makna. Dengan membaca pikiran dapat bergerak dan tercerahkan. Lebih dari itu, membaca merupakan aktivitas membangun peradaban sekaligus merawat peradaban itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berbagai temuan riset menuturkan bahwa minat baca bangsa ini berada jauh di bawah negara-negara Asia bahkan ASEAN. Rentetan semisal laporan World Bank (1998), studi International Educational Achievement (IEA) (2000), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) (2006), hingga studi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2009) kian mengafirmasi bahwa budaya membaca di negeri ini masih rendah.

Beberapa kalangan menengarai bahwa kecenderungan minimnya dorongan dari orangtua untuk menanamkan gemar membaca sejak kecil merupakan salah satu faktor penyebabnya. Belum lagi ditambah pengaruh budaya dengar (listening culture), budaya tonton (watching culture) serta perkembangan berbagai media elektronik yang demikian pesat turut menyumbang rendahnya angka minat baca di negeri ini.

Melihat realitas tersebut seharusnya kita mulai tersentak dan tersadar untuk mulai bergerak melakukan perubahan. Gerakan mengarusutamakan membaca adalah salah satu ikhtiar yang dapat dilakukan ketimbang hanya mengutuki keadaan dan menghujat negara yang memang lebih sibuk mengurus dirinya sendiri. Adapun wujud gerakan tersebut, salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan taman baca masyarakat.

Lahirnya berbagai taman baca masyarakat merupakan sebuah hal yang harus diapresiasi secara positif karena kerja semacam ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh orang-orang berhati dan berjiwa alturistik yang mau bergerak dan mewujudkan taman baca masyarakat tersebut. Mengingat sekarang biaya pendidikan yang kian membumbung dan hanya dapat diakses oleh golongan tertentu saja. Taman baca masyarakat menjadi solusi efektif untuk membangun kesetaraan akses dan minat baca kepada yang kurang mampu.

Memang tentu tidak mudah dalam upaya perealisasiannya, namun seperti pepatah where there a will, there is a way, semua tentu ada jalan keluarnya. Kemudian setidaknya yang dibutuhkan bagi pengembangan taman baca masyarakat antara lain; pertama, penyediaan buku. Hal ini dapat ditempuh dengan penggalangan atau pengumpulan buku secara sukarela atau gerakan wakaf buku. Di Banten, telah ada ada gerakan semacam ini. Hasilnya dalam sehari 19.000 buku terkumpul! Buku yang terkumpul itu kemudian disalurkan ke perpustakaan, taman baca, pesantren, komunitas baca di seluruh kabupaten/kota di Banten. Potensi semacam ini tentu harus senantiasa dapat dimaksimalkan.

Kedua, pembinaan dan dukungan. Taman baca masyarakat sebagai gerakan kultural edukatif tentu membutuhkan pembinaan dan dukungan. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan elemen yang luas, pemerintah, tokoh masyarakat, pelajar dan mahasiswa, komunitas pencinta buku, masyarakat, serta didukung media massa dan dunia usaha agar dapat berfungsi secara optimal. Seperti menjadi relawan (volunteer), membentuk program kampanye dan kemitraan serta pelatihan dalam rangka pengelolaan taman baca tersebut.

Sekali lagi, pengembangan taman baca masyarakat yang didedikasikan untuk mendukung upaya penuntasan buta aksara menjadi melek aksara, mendukung percepatan menuju bangsa yang cerdas dan mengukuhkan bangsa menjadi berbudaya dan beradab melalui penguatan kebiasaan membaca dan budaya literasi adalah kerja mulia bak pijar abadi yang menerangi kegelapan.

Harapan akan bangsa ini mampu menyusul berbagai bangsa lain semisal Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang masyarakatnya punya tradisi membaca buku tentu bukan sebuah impian di siang bolong. Setidaknya ikhtiar menuju ke arah sana sudah dirintis.

Laku membaca buku (reading society) sebagai sebuah kebiasaan (habitus) pun semoga lekas terwujud. Semua itu tentu mungkin, laksana pepatah Inggris pernah berujar, we first make our habits, then our habits make us.

Praktik Kesadaran

Tumpi Readhouse merupakan salah satu praktik kesadaran insan manusia untuk mulai mencerdaskan bangsanya. Ruang kreatif, ruang publik sekaligus pusat inkubasi pengetahuan dan peradaban coba digagas oleh sebuah perpustakaan hasil karya tangan-tangan anak bangsa yang peduli dan berusaha memberikan jawaban (response) terhadap tantangan (challenge) yang ada. Mereka memegang teguh bahwa hal yang paling penting adalah bergerak memberikan aksi, berkontribusi nyata serta pencerahan bagi zamannya. Ali Syari’ati (1993) menyebutnya sebagai rausyan fikr yang menggerakkan peradaban serta mengalirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat.

Wahana nirlaba ini berada di Dukuh Karang RT.16 RW.04 Kelurahan Pentur, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan telah diresmikan pada tanggal 16 Juli 2012 lalu. Tumpi Readhouse bergerak untuk mendorong dan meningkatkan minat serta budaya membaca masyarakat sekaligus sebagai sarana pembelajaran alternatif di aras lokal khususnya pada kalangan anak-anak dan kaum muda. Tidak berhenti di situ, ruang ini pun menjadi sebuah ruang diskursus, dialektika dan pengajian pengetahuan serta membincang, menggali dan menguak berbagai potensi lokal yang dapat dikembangkan.

Kerja yang dilakukan para punggawa Tumpi Readhouse: Joko Narimo, Wahyono Jaiz, Anna Subekti dan kawan-kawan merupakan kerja anak zaman dalam laku praktik dan kultural. Sebagaimana ada pameo bahwa di setiap zaman akan lahir anak zaman yang akan bertanggungjawab mengawal zamannya tersebut. Oleh karena itu, Tumpi Readhouse sejatinya merupakan manifestasi dari hadirnya anak zaman tersebut. Kita semua pun boleh berharap bahwa berbagai Tumpi Readhouse lain akan bermunculan sebagai respon bagi tantangan zaman. Berdiam tanpa berbuat tentu bukan hal bijak yang dapat dilakukan. Dukungan berupa praktik nyata itulah yang idealnya harus mengada. Tabik.

Sumber : ekanadashofa.staff.uns.ac.id

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.