Belum genap satu bulan Tumpi Readhouse berdiri, perpustakaan buku dan film yang berada di tengah perkampungan Desa Pentur ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan, anak-anak sampai orang tua berdatangan silih berganti. Meski dengan fasilitas ruang baca seadanya, tidak menyurutkan mereka untuk memanfaatkan buku-buku sambil menikmati suasana baru di perpustakaan.
Buku-buku yang didominasi dengan buku anak menjadi makanan empuk para pelajar Sekolah Dasar (SD), kebetulan saja jarak sekolah tidak jauh dari lokasi perpustakaan sehingga anak-anak dapat memanfaatkan waktu sebelum masuk kelas dan istirahat untuk membaca di perpustakaan.
Menjelang sore hari sebagian bapak-bapak datang ke perpus untuk membuang rasa lelah setelah bekerja. Dengan membaca buku-buku pertanian, sedikit banyak membantu mereka mendapatkan pengalaman baru di dunia bercocok tanam. Tak kalah juga beberapa ibu-ibu juga berburu resep masakan dan kecantikan melalui majalah-majalah wanita hasil sumbangan para donatur.
Dunia anak muda adalah tongkrongan, ketika Tumpi berdiri perpustakaan telah menjadi basecamp baru buat mereka.Disela-sela permainan karambol dan obrolan ngalor-ngidul mereka, buku komik dan cerita fiksi menjadi pilihan saat membaca. “Meski belum semua memiliki minat baca yang tinggi, tapi setidaknya dapat mengurangi kegiatan nongkrong di jalan maupun di perempatan” komentar salah satu remaja yang datang.
Gagasan-gagasan menarik sering muncul dari tongkrongan mereka, dengan adanya rencana program yang akan dijalankan setiap bulannya, ide-ide yang semula membeku kini justru bisa tumpah- melimpah ruah. Oleh karena itu tak jarang mereka datang sampai larut malam bahkan sampai tidur di perpustakaan.
Terlalu bersemangat memang terkadang justru menjadi bumerang, bagi pelajar sekolah yang keasyikan ngobrol sampai larut malam menjadi bahan pembicaraan negatif bagi orang tua. Kekhawatiran mereka terhadap anak-anakya cukup beralasan, ditakutkan pada saat belajar di kelas anak tidak dapat menerima pelajaran dengan baik karena mengantuk begadang di perpustakaan.
Rencana pemberlakuan jam malam untuk perpustakaan juga mendapat pertentangan bagi sebagian anak muda yang tidak sekolah, bagi mereka malam hari menjadi waktu yang nyaman untuk bertukar gagasan. Suasana sunyi pedesaan memang sangat nyaman untuk berkarya dan menikmati malam, hal ini diutarakan oleh salah satu remaja yang kesehariannya memang bekerja di kota.
Perlahan tapi pasti, membuat aturan main dan pengelolaan perpustakaan memang harus disesuaikan dengan kebutuhan pengguna perpustakaan itu sendiri. Aturan-aturan formal yang akan diberlakukan seperti di perpus lainnya justru akan menjauhkan buku dari mereka. Bebas namun terbatas menjadi pilihan ketika perpustakaan diputuskan bersama untuk bisa beroperasi selama 24 jam. Mari Membaca….